I.
Pendahuluan.
Selama rentang
kehidupan manusia, telah terjadi banyak pertumbuhan dan perkembangan dari mulai
lahir sampai dengan meninggal dunia. Dari semua fase perkembangan manusia
tersebut, salah satu yang paling penting dan paling menjadi pusat perhatian
adalah masa remaja. Para orang tua, pendidik dan para tenaga profesional
lainnya mencoba untuk menerangkan dan melakukan pendekatan yang efektif untuk
menangani para remaja ini. Lalu ada apakah di masa remaja ini? Seberapa besarkah
pentingnya untuk menangani masa remaja dan seberapa besar pengaruhnya untuk
kehidupan dimasa depan individu tersebut?
Masa remaja yang
dimaksudkan merupakan periode transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa.
Batasan usianya tidak ditentukan dengan jelas, sehingga banyak ahli yang
berbeda dalam penentuan rentang usianya. Namun, secara umum dapat dikatakan
bahwa masa remaja berawal dari usia 12 sampai dengan akhir usia belasan ketika
pertumbuhan fisik hampir lengkap.
Salah satu pakar
psikologi perkembangan Elizabeth B.
Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja ini dimulai pada saat
anak mulai matang secara seksual dan berakhir pada saat ia mencapai usia dewasa
secara hukum. Masa remaja terbagi menjadi dua yaitu masa remaja awal dan masa
remaja akhir. Masa remaja awal dimulai pada saat anak-anak mulai matang secara
seksual yaitu pada usia 13 sampai dengan 17 tahun, sedangkan masa remaja akhir
meliputi periode setelahnya sampai dengan 18 tahun, yaitu usia dimana seseorang
dinyatakan dewasa secara hukum.
Banyaknya permasalahan
dan krisis yang terjadi pada masa remaja ini menjadikan banyak ahli dalam
bidang psikologi perkembangan menyebutnya sebagai masa krisis. Pada masa ini
perubahan terjadi sangat drastis dan mengakibatkan terjadinya kondisi yang
serba tanggung dan diwarnai oleh kondisi psikis yang belum mantap, selain dari
pada itu periode ini pun dinilai sangat penting bahkan Erik Erikson (1998) menyatakan bahwa seluruh masa depan
individu sangat tergantung pada penyelesaian krisis pada masa ini.
II.
Karakteristik Masa Remaja
Sebagai periode yang
paling penting, masa remaja ini memiliki karakterisitik yang khas jika
dibanding dengan periode-periode perkembangan lainnya. Adapun rinciannya adalah
sebagai berikut :
a. Masa remaja adalah periode yang penting
Periode
ini dianggap sebagai masa penting karena memiliki dampak langsung dan dampak
jangka panjang dari apa yang terjadi pada masa ini. Selain itu, periode ini pun
memiliki dampak penting terhadap perkembangan fisik dan psikologis individu,
dimana terjadi perkembangan fisik dan psikologis yang cepat dan penting.
Kondisi inilah yang menuntut individu untuk bisa menyesuaikan diri secara
mental dan melihat pentingnya menetapkan suatu sikap, nilai-nilai dan minta
yang baru.
b. Masa remaja adalah masa peralihan
Periode
ini menuntut seorang anak untuk meninggalkan sifat-sifat kekanak-kanakannya dan
harus mempelajari pola-pola perilaku dan sikap-sikap baru untuk menggantikan
dan meninggalkan pola-pola perilaku sebelumnya. Selama peralihan dalam periode
ini, seringkali seseorang merasa bingung dan tidak jelas mengenai peran yang
dituntut oleh lingkungan. Misalnya, pada saat individu menampilkan perilaku
anak-anak maka mereka akan diminta untuk berperilaku sesuai dengan usianya,
namun pada kebalikannya jika individu mencoba untuk berperilaku seperti orang
dewasa sering dikatakan bahwa mereka berperilaku terlalu dewasa untuk usianya.
c. Masa remaja adalah periode perubahan
Perubahan
yang terjadi pada periode ini berlangsung secara cepat, peubahan fisik yang
cepat membawa konsekuensi terjadinya perubahan sikap dan perilaku yang juga
cepat. Terdapat lima karakteristik perubahan yang khas dalam periode ini yaitu,
(1) peningkatan emosionalitas, (2) perubahan cepat yang menyertai kematangan
seksual, (3) perubahan tubuh, minat dan peran yang dituntut oleh lingkungan
yang menimbulkan masalah baru, (4) karena perubahan minat dan pola perilaku
maka terjadi pula perubahan nilai, dan (5) kebanyakan remaja merasa ambivalent
terhadap perubahan yang terjadi.
d. Masa remaja adalah usia bermasalah
Pada
periode ini membawa masalah yang sulit untuk ditangani baik bagi anak laki-laki
maupun perempuan. Hal ini disebabkan oleh dua lasan yaitu : pertama, pada saat
anak-anak paling tidak sebagian masalah diselesaikan oleh orang tua atau guru,
sedangkan sekarang individu dituntut untuk bisa menyelesaikan masalahnya
sendiri. Kedua, karena mereka dituntut untuk mandiri maka seringkali menolak
untuk dibantu oleh orang tua atau guru, sehingga menimbulkan kegagalan-kegagalan
dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
e. Masa remaja adalah masa pencarian identitas diri
Pada
periode ini, konformitas terhadap kelompok sebaya memiliki peran penting bagi
remaja. Mereka mencoba mencari identitas diri dengan berpakaian, berbicara dan
berperilaku sebisa mungkin sama dengan kelompoknya. Salah satu cara remaja
untuk meyakinkan dirinya yaitu dengan menggunakan simbol status, seperti mobil,
pakaian dan benda-benda lainnya yang dapat dilihat oleh orang lain.
f. Masa remaja adalah usia yang ditakutkan
Masa
remaja ini seringkali ditakuti oleh individu itu sendiri dan lingkungan. Gambaran-gambaran
negatif yang ada dibenak masyarakat mengenai perilaku remaja mempengaruhi cara
mereka berinteraksi dengan remaja. Hal ini membuat para remaja itu sendiri
merasa takut untuk menjalankan perannya dan enggan meminta bantuan orang tua
atau pun guru untuk memecahkan masalahnya.
g. Masa remaja adalah masa yang tidak realistis
Remaja
memiliki kecenderungan untuk melihat hidup secara kurang realistis, mereka
memandang dirinya dan orang lain sebagaimana mereka inginkan dan bukannya sebagai dia sendiri. Hal ini
terutama terlihat pada aspirasinya, aspiriasi yang tidak realitis ini tidak
sekedar untuk dirinya sendiri namun bagi keluarga, teman. Semakin tidak
realistis aspirasi mereka maka akan semakin marah dan kecewa apabila aspirasi
tersebut tidak dapat mereka capai.
h. Masa remaja adalah ambang dari masa dewasa
Pada
saat remaja mendekati masa dimana mereka dianggap dewasa secara hukum, mereka
merasa cemas dengan stereotype remaja dan menciptakan impresi bahwa mereka
mendekati dewasa. Mereka merasa bahwa berpakaian dan berperilaku seperti orang
dewasa sringkali tidak cukup, sehingga mereka mulai untuk memperhatikan
perilaku atau simbol yang berhubungan dengan status orang dewasa seperti
merokok, minum, menggunakan obat-obatan bahkan melakukan hubungan seksual.
III.
Tugas Perkembangan Masa Remaja
Menurut Havighurst (
Hurlock, 2004) tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau
sekitar periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan
menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan
tugas-tugas berikutnya. Akan tetapi jika gagal menimbulkan rasa tidak bahagia
dan kesulitan menghadapi tugas-tugas berikutnya. Setiap tahapan rentang kehidupan
manusia memiliki tugas perkembangan yang khas, mulai anak-anak hingga dewasa.
Tugas perkembangan membantu individu untuk mengetahui apa yang diharapkan
masyarakat dari usia-usia tertentu dan memotivasi individu untuk melakukan apa
yang diharapkan masyarakat dari individu oleh kelompok sosial pada usia
tertentu sepanjang rentang kehidupan. Semua tugas-tugas perkembangan masa
remaja terfokus pada bagaimana melalui sikap dan pola perilaku kanak-kanak dan
mempersipakan sikap dan perilaku orang dewasa. Rincian tugas-tugas pada masa
remaja ini adalah sebagai berikut :
1.
Mencapai relasi yang lebih matang dengan
teman seusia dari kedua jenis kelamin
2.
Mencapai peran sosial feminin atau
maskulin
3.
Menerima fisik dan menggunakan tubuhnya
secara efektif
4.
Meminta, menerima dan mencapai perilaku
bertanggung jawab secara sosial
5.
Mencapai kemandirian secara emosional
dari orang tua dan orang dewasa lainnya
6.
Mempersiapkan untuk karir ekonomi
7.
Memperiapkan untuk menikah dan
berkeluarga
8.
Memperoleh suatu set nilai dan sistem
etis untuk mengarahkan perilaku.
IV.
Perubahan-perubahan yang terjadi
pada Masa Remaja
a. Perubahan
Fisik Masa Remaja
1. Tinggi
badan
Rata-rata
anak perempuan mencapai tinggi dewasanya pada usia 17/18 tahun dan bagi anak
laki-laki satu tahun lebih dari usia tersebut.
2. Berat
badan
Perubahan
berat tubuh seiring dengan waktu sama dengan perubahan tinggi badan, hanya saja
sekarang lebih menyebar ke seluruh tubuh.
3. Proporsi
tubuh
Berbagai
bagian tubuh secara bertahap mencapai proporsinya. Misal: badan lebih lebar dan
lebih kuat.
4. Organ
seksual
Pada
laki-laki dan perempuan organ seksual mencapai ukuran dewasa pada periode
remaja akhir, namun fungsinya belum matang sampai dengan beberapa tahun
kemudian
5. Karakteristik
sex sekunder
Karakteristik
sex sekunder utama mengalami perkembangan pada level dewasa pada periode remaja
akhir.
b. Emosionalitas
Masa Remaja
Selain terjadi
perubahan fisik yang sangat mencolok, juga terjadi perubahan dalam
emosionalitas remaja yang cukup mengemuka, sehingga ada beberapa hal yang dapat
disimpulkan dari perubahan pada aspek emosionalitas ini.
Masa ini disebut
sebagai masa “storm and stres”, dimana terjadi peningkatan ketegangan emosional
yang dihasilkan dari perubahan fisik dan hormonal. Pada masa ini emosi
seringkali sangat intens, tidak terkontrol dan nampak irrasional, secara umum
terdapat peningkatan perilaku emosional pada setiap usia yang dilalui.
Misalnya, pada usia 14 tahun, remaja menjadi mudah marah, mudah gembira, dan
meledak secara emosional, sedangkan pada usia 16 tahun terjadi kebalikannya mereka
mengatakan tidak terlalu merasa khawatir.
Hal yang paling membuat
remaja marah adalah apabila mereka diperlakukan seperti anak-anak atau pada
saat merasa diperlakukan tidak adil. Ekspresi kemarahannya mungkin berupa
mendongkol, menolak untuk bicara, atau mengkritik secara keras. Hal yang juga
cukup mengemuka yaittu pada masa ini remaja lebih iri hati terhadap mereka yang
memiliki materi lebih.
c. Perubahan
Sosial pada Masa Remaja
Salah satu tugas
perkembangan yang paling sulit pada masa remaja adalah penyesuaian sosial.
Penyesuaian ini harus dilakukan terhadap jenis kelamin yang berlainana dalam
suatu relasi yang sebelumnya tidak pernah ada dan terhadap orang dewasa diluar
keluarga dan lingkungan sekolah.
Pada masa ini remaja
paling banyak menghabiskan waktu mereka di luar rumah bersama dengan teman
sebaya mereka, sehingga bisa difahami apabila teman sebaya sangat berpengaruh
terhadap sikap, cara bicara, minat, penampilan, dan perilaku remaja.
Perubahan dalam
perilaku sosial terlihat dengan adanya perubahan dalam sikap dan perilaku dalam
relasi heteroseksual, mereka yang tadinya tidak menyukai keterlibatan lawan
jenis menjadi menyukai pertemanan dengan lawan jenis. Secara umum dapat
dikatakan bahwa minat terhadap lawan jenis meningkat. Selain itu, perubahan sosial
yang terjadi dengan adanya nilai-nilai baru dalam memilih teman, dimana
sekarang remaja lebih memilih yang memiliki minat dan nilai-nilai yang sama,
bisa memahami dan membuat merasa aman, dapat dipercaya dan bisa diskusi
mengenai hal-hal yang tidak bisa dibicarakan dengan guru atau orang tua. Pada
masa ini pun remaja memiliki keinginan untuk tampil sebagai seorang yang
populer dan disukai oleh lingkungannya.
V.
Stres dan Depresi pada Remaja
a. Definisi
Stres dan Depresi
Menurut Lazarus &
Folkman (dalam Morgan, 1986) stres adalah keadaan internal yang dapat
diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan, dll)
atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan,
tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping.
Menurut Selye (Bell,1996) stress diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction)
terhadap adanya ancaman, yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis,
seperti: meningkatnya denyut jantung, yang kemudian diikuti dengan reaksi penolakan
terhadap stressor dan akan mencapai tahap kehabisan tenaga (exhaustion) jika
individu merasa tidak mampu untuk terus bertahan.
Dalam makalah tentang
Depresi Remaja yang dipublikasikan oleh Bagian Pediatrik Universitas Diponegoro
Semarang, dijelaskan bahwa
Kondisi
yang ditandai dengan ketidakmampuan berkonsentrasi, perubahan pola tidur yang
parah, menurunnya energi, ketidaknyamanan fisik, mudah tersingung, serta
perasaan sedih , kesal dan tidak berdaya yang ekstrim. Depresi dapat terjadi
pada keadaan normal sebagai bagian dalam perjalanan proses kematangan dari
emosi sehingga definisi depresi adalah sebagai berikut: (1) pada keadaan normal merupakan gang
guan kemurungan (kesedihan, patah semangat) yang
ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan, dan pesimisme
menghadapi masa yang akan datang, (2) pada kasus pato
logis, merupakan ketidakmauan ekstrim untuk
mereaksi terhadap rangsang disertai menurunnya nilai diri, delusi
ketidakpuasan, tidak mampu, dan putus asa. (
http://pediatrics-undip.com/journal/depresi%20remaja.doc).
b. Penyebab/Etiologi Depresi
Beberapa faktor yang diduga
berpengaruh terhadap penyebab/etiologi depresi, khususnya pada anak dan remaja
adalah:
1. Faktor genetik
Meskipun
penyebab depresi secara pasti tidak dapat ditentukan, faktor genetik mempunyai
peran terbesar. Gangguan alam perasaan cenderung terdapat dalam suatu keluarga
tertentu. Bila suatu keluarga salah satu orangtuanya menderita depresi, maka
anaknya berisiko dua kali lipat dan apabila kedua orangtuanya menderita depresi
maka risiko untuk mendapat gangguan alam perasaan sebelum usia 18 tahun menjadi
empat kali lipat. Pada kembar monozigot, 76% akan mengalami gangguan afektif
sedangkan bila kembar dizigot hanya 19%. Bagaimana proses gen diwariskan, belum
diketahui secara pasti. Bahwa kembar monozigot tidak 100% menunjukkan gangguan
afektif, kemungkinan ada faktor non-genetik yang turut berperan.
2. Faktor Sosial
Dilaporkan
bahwa orangtua dengan gangguan afektif cenderung akan selalu menganiaya atau
menelantarkan anaknya dan tidak mengetahui bahwa anaknya menderita depresi
sehingga tidak berusaha untuk mengobatinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
status perkawinan orangtua, jumlah sanak saudara, status sosial keluarga,
perpisahan orangtua, perceraian, fungsi perkawinan, atau struktur keluarga
banyak berperan dalam terjadinya gangguan depresi pada anak. Ibu yang menderita
depresi lebih besar pengaruhnya terhadap kemungkinan gangguan psikopatologi
anak dibandingkan ayah yang mengalami depresi. Levitan et al (1998) dan Weiss
et al (1999) melaporkan adanya hubungan yang signifikan antara riwayat
penganiayaan fisik atau seksual dengan depresi, tetapi mekanismenya belum
diketahui secara pasti.Diyakini bahwa faktor non-genetik seperti fisik maupun
lingkungan merupakan pencetus kemungkinan terjadinya depresi pada anak dengan
riwayat genetik.
3. Faktor Biologis lainnya
Dua
hipotesis yang menonjol mengenai mekanisme gangguan alam perasaan. Hipotesis
lain menyatakan bahwa depresi yang terjadi erat hubungannya dengan perubahan
keseimbangan adrenergik-asetilkolin yang ditandai dengan meningkatnya
kolinergik, sementara dopamin secara fungsional menurun.
c. Kematian
dan Perceraian: Sebagai Sumber Depresi Masa Remaja
Menurut Fuhrmann (1990:485) depresi pada masa remaja awal,
remaja umumnya cenderung lebih mengarah ke perilaku daripada ke pikiran. Mereka
menutupi stress dan depresi yang dialami dengan tingkah laku yang liar dan
memberontak. Karenanya depresi pada remaja dapat dilihat dalam kesedihan,
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, kondisi tubuh yang sangat lelah,
insomnia/gangguan tidur, keluhan fisik, kebosanan, ketidaksabaran, kecemasan,
ketegangan, frustrasi, penyalahgunaan alkohol dan obat – obatan, sikap yang
tidak terkontrol, memiliki hubungan seksual secara kasual dengan banyak orang,
kegagalan, melarikan diri, bahkan memiliki kecenderungan untuk terluka atau
terlibat dalam kesulitan.
Fuhrmann
(1990:484) menyatakan bahwa 40% - 50%
depresi yang muncul pada remaja merupakan suatu respon atau reaksi dari kondisi
kehilangan seperti kematian, perceraian, atau perpisahan. Menurut Nurhadi (http://nurhadi-noe.blogspot.com/p/coping-with-loss-gieving.html)
loss atau kehilangan adalah situasi
aktual/potensial dimana seseorang.obyek yang berharga atau sesuatu yang disukai
tidak bisa lagi dilihat sebagai sesuatu yang berharga. Pengalaman kehilangan
dapat berupa kehilangan gambaran diri, orang lain yang berarti, kesehatan,
pekerjaan, keyakinan dan lain – lain. Dengan kata lain, kehilangan adalah satu
situasi di mana seseorang tidak lagi memiliki sesuatu dalam hidupnya.
Dalam
pembahasan kita saat ini, anak mengalami kehilangan orang tua, entah ayahnya
atau ibunya atau keduanya. Tentunya ‘kehilangan’ orang yang dikasihi merupakan
bagian menyedihkan dalam perjalanan hidup seseorang. Kehilangan bisa dialami
oleh siapa saja. Bencana alam, penyakit, atau kecelakaan lain dapat merenggut
orang yang kita kasihi dari sisi kita. kehilangan di sini umumnya kita
mengartikannya dengan kematian. Namun kehilangan juga bisa dalam pengertian
psikis, misalnya perceraian orangtua.
Behrman
& Arvin (1996:140) menyatakan bahwa pada anak – anak umur sekolah sampai
remaja yang telah kehilangan orang tuanya karena kematian, segera sesudah
kehilangan, perasaan sedih dan banyak menangis tidak dengan secara jelas nyata
ditunjukkan. Anak – anak terus seperti biasa melakukan aktifitas harian. Namun
mekanisme utama dari reaksi terhadap kondisi kehilangan ini adalah penolakan,
baik secara jelas/sadar maupun tidak sadar, dan didukung oleh keinginan dan
harapan gaib untuk bersatu dan kembali munculnya orang tua yang telah
meninggal.
Beberapa
anak memiliki mekanisme pertahanan yang sangat kuat, yaitu dengan
mempertahankan suasana hati yang baik, beberap menjadi lebih aktif daripada
biasanya. Wolfenstein dalam Behrman & Arvin (1996:140) melihat suasana hati
yang baik sebagai bagian dari penolakan yang efektif. Beberapa anak menunjukkan
permusuhan dan marah terhadap orang tua yang masih hidup dan cenderung memihak
pada dan mengidealkan orang tua yang telah tiada, kadang – kadang dengan
fantasi penyatuan kembali dengan orang tua yang meninggal menyertai penolakan
dalam mekanisme pertahanan dirinya ini. Keadaan lain, beberapa anak menunjukkan
duka cita yang sangat pada saat orangtua meninggal atau setelah lama meninggal,
dimana mekanisme pertahanan dirinya untuk penolakan tidak lagi efektif.
Selanjutnya
Behrman & Arvin (1996:140) menjelaskan bahwa pengalaman kehilangan orang
tuanya karena perceraian, menimbulkan reaksi seperti menangis karena marah,
protes, sangat sedih. Namun ada juga tipe remaja yang bereaksi secara tenang.
Sesudah perpisahan beberapa hari atau seterusnya, anak mungkin tampak lebih
lemah, menarik diri, dan diam atau rewel, suka murung, melawan dan tidak dapat
dikontrol. Gangguan nafsu makan juga dapat terjadi, gangguan tidur. Anak usia
sekolah dapat bereaksi dengan depresi yang nyata, agak acuh, sering membantah
dan menghindari masalah dengan perilaku atau secara lisan.
VI.
Pencegahan
Untuk mencegah depresi dapat
dilakukan dengan menggunakan keberadaan dan peran serta guru pembimbing di
sekolah. Upaya-upaya pembentukan kelompok belajar, kegiatan ekstrakurikuler, pemilihan
jurusan, pramuka dan semacamnya, kesemuanya itu merupakan bagian dari rangkaian
upaya preventif. Layanan bimbingan dan konseling
dapat berfungsi preventif atau
pencegahan. Kegiatan yang berfungsi pencegahan dapat berupa rangkaian layanan
orientasi/informasi, konseling pribadi, konseling kelompok, bahkan dalam
program bidang pengembangan bimbingan karir. Selain itu kegiatan pendukung
lainnya berupa aplikasi instrumentasi, inventarisasi/himpunan data, dan kunjungan
rumah.
Pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah
menitik beratkan kepada bimbingan terhadap perkembangan pribadi melalui
pendekatan perorangan dan kelompok siswa yang menghadapi masalah untuk
mendapatkanbantuan khusus untuk mampu mengatasinya. Tugas guru pembimbing
adalah (a) membantu murid untuk mengenal dirinya, kemampuannya dan mengenal
orang lain, (b) membantu murid dalam proses yang menuju kematangannya, (c)
membantu dan mendorong murid untuk pemilihan-pemilihan yang tepat sesuai dengan
kemampuan dan interestnya, (d) memberikan kesadaran kepada murid-murid tentang
pentingnya penggunaan waktu luangdan mengembangkan interest dalam hobi yang
berguna, (e) membantu murid untuk mengerti metode belajar yang efisien agar
dapat mencapai hasilnya dengan waktu yang lebih singkat.
Selain itu, diperlukan pula peranan
orang tua (keluarga) dengan menghabiskan waktu bersama sehingga dapat
mempererat hubungan antara anggota keluarga, bersikap lebih terbuka dengan cara
mendengarkan pendapat anak dan mau dikritik sehingga remaja merasa lebih
dihargai. Deteksi dini
dengan menggunakan alat skrining (Child Behavior Checklist, Beck Depression Inventories
, Child Depression Inventory) saat didapatkannya
permasalahan disekolah baik prestasi atau permasalahan perilaku anak akan
sangat membantu mengenali lebih dini remaja dengan depresi.
VII.
Terapi
Perawatan di rumah sakit perlu
dipertimbangkan sesuai dengan indikasi, misalnya penderita cenderung mau bunuh
diri, atau adanya penyalahgunaan atau ketergantungan obat. Pada umumnya,
penderita berhasil ditangani dengan rawat jalan. Sekali diagnosis depresi berat
ditegakkan, psikoterapi dan medikasi merupakan terapi yang harus diberikan.
Namun, pengobatan selalu bersifat individual, tergantung pada hasil
pertimbangan evaluasi dan keluarganya, termasuk kombinasi terapi individu,
terapi keluarga, serta konsultasi dengan pihak sekolah.
Pendekatan biopsikososial digunakan
dalam mengobati remaja yang mengalami depresi. Pendekatan ini meliputi psikoterapi
(individual, keluarga, kelompok), farmakoterapi, remedial / edukatif, dan pelatihan
keterampilan sosial. Sebelum memulai suatu bentuk terapi, sebaiknya
dipertimbangkan dengan hati -hati. Adanya obsesi untuk bunuh diri harus
diobservasi dengan cermat dan sebaiknya pasien di rawat inap. faktor lain
seperti kemampuan untuk berfungsi atau stabilitas keluarga merupakan faktor
yang harus dipertimbangkan untuk merawat inapkan remaja ini.
- Psikoterapi. Beberapa pendekatan
psikoterapi yang dapat dilakukan adalah : psikoterapi perorangan (individual
psychotherapy), terapi berorientasi kesadaran (insight-oriented
therapy), terapi tingkah laku (behavioral therapy), model stres
hidup (life stress model), psikoterapi kognitif (cognitive
psychotherapy) ,lain-lain seperti terapi kelompok (group therapy),
latihan orangtua (parent training), terapi keluarga (family
training), pendidikan remedial (remedial education), dan
penempatan di luar rumah (out of homeplacement).
- Farmakoterapi . Saat ini,
belum ada obat yang direkomendasikan oleh FDA. Pengobatan secara farmakoterapi
masih kontroversial pada anak dan remaja . Farmakoterapi yang sering digunakan:
- Golongan antidepresi trisiklik: Amitriptilin,
Imipramin, dan Desipramin. Berbeda dengan orang dewasa, pada anak tidak
menunjukkan perbedaan yang berarti antara antidepresi golongan trisiklik dengan
plasebo. Obat ini bersifat kardiotoksik dan cenderung berakibat fatal bila
melampaui dosis.
- Golongan obat yang bekerja spesifik menghambat ambilan
serotinin: fluoksetin dan sertralin. Obat ini memberikan harapan yang cerah
dalam pengobatan depresi pada anak dan remaja. Merupakan obat pilihan pertama
pada anak dan remaja karena dapat ditoleransi dengan baik dan efek yang
merugikan lebih sedikit dibandingkan dengan antidepresi golongan trisiklik.
Sayangnya, sedikit sekali penelitian tentang pengobatan rumatan (maintenance)
pada anak dan remaja. Dibandingkan dengan usia dewasa, pada masa remaja
cenderung berkembang untuk agitasi atau menjadi mania bila mereka mendapat
SSRIs (Selective serotinine reuptake inhibitors). Obat ini juga dapat
menurunkan libido.
- Litium karbonat .Obat ini telah digunakan untuk
pengobatan anak dan remaja yang mengalami agresi, mania, depresi, dan masalah
tingkah laku, tetapi lebih berguna pada kasus yang berisiko menjadi bipolar.
Beberapa contoh obat
yang ada di Indonesia : imipramine 25 – 125 mg / hari, clomipramine 25 –
200 mg /hari, fluoxetine 10 – 80 mg / hari, fluoxamine 100
– 300 mg /hari, sertraline 50 – 200 mg / hari, moclobemide 150 – 300 mg / hari.
VIII. Kasus
dan Konseling Krisis Pada Remaja
a. Biodata
Konseli
Biodata
Konseli:
1. Responden :
A.K.
2. Usia : 16 thn
3. Jenis
Kelamin : Perempuan
4. Pendidikan : Pelajar (Kelas XI)
5. Jumlah
Saudara : 2 (dua)
6.
Masalah
: Siswa
jarang masuk sekolah akibat adanya masalah dengan orang
tua dan mengalami stress cukup berat akibat
perceraian orang tua.
b. Deskripsi
Kasus
AK
adalah seorang siswa SMA berusia 16 tahun, anak kedua dari dua bersaudara.
Orang tua AK bercerai sejak AK di kelas IX (sembilan) SMP. Sejak bercerai AK
tinggal bersama ibunya. Sedangkan Ayahnya tinggal di luar negeri bersama kakak
perempuannya. AK diminta untuk dikonseling karena berdasarkan abesensi dan
laporan wali kelas, siswa jarang masuk sekolah. Menurut informasi yang
disampaikan AK, AK jarang masuk sekolah akibat jarak rumah yang jauh dan tidak
ada yang mengantar sekolah. Menurut AK, ibunya terlalu sibuk sehingga tidak
sempat mengantar sekolah.
Menurut
AK, karena tidak ada yang mengantar sekolah, maka biasanya AK ke sekolah dengan
mengendarai angkutan umum. Namun ada kalanya ibu lupa meninggalkan uang
transport, hal inilah yang menyebabkan AK tidak masuk sekolah. Belakangan AK
mengakui bahwa ketidakhadirannya di sekolah juga terkadang disebabkan oleh rasa
kecewa dan marah yang besar terhadap kedua orang tuanya yang bercerai, serta
ibunya yang sibuk bekerja. Awalnya hal tersebut ia lakukan untuk mendapatkan
perhatian ibunya. Namun karena tujuannya tidak tercapai, AK semakin sering
tidak masuk sekolah sebagai bentuk “pemberontakan” nya terhadap orang tuanya.
AK
merasa kedua orang tuanya, terutama ibunya tidak perduli padanya dan pendidikannya.
AK bahkan berpikir bahwa ibunya tidak mencintai dan menginginkannya. Pikiran
dan perasaan demikianlah yang mengakibatkan AK berpikir bahwa tidak ada gunanya
bersekolah, toh orangtuanya tidak perduli ia berangkat sekolah atau tidak, atau
ia berhasil atau tidak. AK mengaku sering sekali bertengkar dengan ibunya dan
tidak betah tinggal di rumah. Seringkali AK mengaku ingin melarikan diri dari
rumah, karena merasa tinggal dirumah tidak membuatnya senang, tapi sedih dan
marah. AK sedih karena rindu dengan ibu, ayah dan kakaknya dapat berkumpul,
tapi juga marah kepada ibu dan ayah karena memisahkannya dengan kakaknya.
Kenyataan
– kenyataan diatas merupakan pemicu perasaan tertekan AK yang kemudian
membentuk stress dan depresi. Disamping itu keadaan pasca perceraian ayah
ibunya, AK merasa ibu selalu meninggalkan dan lebih mementingkan pekerjaannya.
Akibatnya AK merasa bahwa ia adalah anak yang tidak diinginkan orang tuanya.
Perasaan inilah yang semakin menumbuhkan rasa kekecewaan yang mendalam pada
ibunya. Rasa kecewa yang mendalam ini akhirnya membuahkan keinginan untuk pergi
jauh dari rumah. Bagi AK rumah adalah neraka, sumber kesedihan dan
ketidakbahagiaan.
AK
sebenarnya termasuk anak yang cerdas. Dalam kondisi keluarga yang demikian, AK
masih dapat mempertahankan nilai – nilai mata pelajarannya dia atas rata –
rata. Hal ini disebabkan karena AK memiliki keinginan yang kuat untuk
melanjutkan sekolah hingga tingkat perguruan tinggi dan mencapai cita – cita
masa kecilnya menjadi seorang dokter. Disamping itu, ibunya pernah menjanjikan
akan menyekolahkannya ke luar negeri dimana ayah dan kakaknya berada, sehingga
ia bisa tinggal bersama – sama mereka lagi.
c. Perspektif
Konselor Terhadap Kasus
Untuk menolong remaja yang mengalami stress dan depresi
akibat kehilangan seperti perceraian, Dokter Keith Olsen dalam Haksasi
(2010:101) menunjukkan beberapa ciri khas mereka yang berhasil melayani remaja
depresi, yaitu:
1.
Mempunyai
kecakapan mengembangkan hubungan yang hangat dan penuh empati.
2.
Dapat
dipercaya dan konsisten dalam tanggapan mereka.
3.
Mengendalikan
diri dan tata cara konseling dengan menggunakan secara tepat kewibawaan tanpa
merendahkan martabat konseli.
4.
Tidak
peduli jika mereka tidak dipercaya.
5.
Dapat
mengembangkan hubungan yang menyenangkan dengan si konseli.
6.
Sangat
mendorong konseli untuk mandiri.
7.
Tahan
menghadapi kemarahan dan permusuhan dari konseli.
8.
Merupakan
konselor yang penampilan, kepribadian, gaya konseling dan keseluruhan penyajian
mereka diterima baik oleh remaja.
Bertolak dari hal – hal di atas, maka konselor yang
menangani remaja yang mengalami stress dan depresi akibat kehilangan orang tua,
baik akibat kematian atau perceraian, memegang peran penting untuk memberikan
terapi edukatif. Yang dimaksud dengan terapi edukatif adala memberikan
bimbingan dan menunjukkan perilaku menyimpang remaja dan berupaya bekerjasama
dengan orang tua dan pihak terkait (psikolog atau psikiater) untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
Konseli pernah mengalami peristiwa dimana ketika ia berumur
7 tahun, ia ditinggal orang tuanya selama tiga bulan bersama pembantu. Dimasa
SMA, beberapa kali ibu konseli lupa meninggalkan uang transportasi untuk
konseli, sehingga konseli tidak dapat berangkat sekolah. Beberapa peristiwa
yang pernah dialami konseli ini merupakan peristiwa yang diikuti oleh perasaan
tidak enak, yang sekaligus ikut mempengaruhi pikiran AK. Seperti yang di
kemukakan Prayitno (2005:79) bahwa “Pikiran seseorang dapat menjadi
perasaannya, dan sebaliknya.” Oleh karenanya pada saat AK melakukan penilaian
negatif terhadap perceraian orang tua dan kesibukan ibunya, pada saat bersamaan
timbul juga pikiran negatif tentang hal itu. Perasaan negatifnya: Ia merasa
tidak dicintai, tidak diperdulikan, dan ditolak. Pikiran negatifnya: Buat apa
bersekolah, toh ibunya tidak perduli, ia berangkat sekolah atau tidak, dan
apakah dia akan berhasil atau tidak.
Kemarahan yang sangat
besar dan kesedihan mendalam terhadap perceraian orang tua dan ibu yang terlalu
sibuk dengan pekerjaan, menimbulkan rasa kehilangan yang mendalam juga. Inilah
yang menjadi sumber stress dan depresi AK. Baginya rumah adalah sumber
kesedihan dan penderitaannya. Ia bahkan berpikir rumah adalah neraka. Akibatnya
muncul keinginan untuk melarikan diri, meninggalkan ibu dan rumahnya.
Disinilah tugas konselor memberi terapi edukatif, dimana
konselor membimbing dan menunjukkan pada konseli bahwa perilaku “pemberontakan’
yang dilakukannya karena tidak masuk sekolah selama ini tidak benar. Konselor
dengan sabar perlu membimbing konseli dengan menunjukkan hal – hal realistis yang
dapat dilakukan konseli mengatasi kekecewaannya yang mendalam dan rasa tertekan
yang selama ini ia rasakan akibat perceraian orang tuanya.
Dalam kasus yang dialami AK, konselor mengarahkan konseli
untuk memiliki padangan hidup yang lebih realistis, yaitu dengan mengajak
konseli berpikir secara rasional untuk mengubah sikap dan tingkah laku yang
muncul akibat gagasan – gagasan AK yang berpikir bahwa kesibukan ibunya adalah
tanda penolakan terhadap dirinya. Demikian juga perceraian kedua orang tuanya
merupakan peristiwa yang sangat mengecewakan AK, sehingga ia menganggap kedua
orang tuanya tidak mencintai dan tidak perduli padanya.
Goliszek (2005) dalam Haksasi (2010:102) menyarankan
konselor yang menangani remaja yang mengalami stres dan depresi, agar membekali
remaja dengan kemampuan management stress. Menurutnya konselor dapat menerapkan
langkah – langkah berikut:
1.
Ungkapkan
kembali komentar anak untuk menunjukkan anda memahaminya dan meyakinkan anak
bahwa anda mendengarkannya.
2.
Perhatikan
wajah dan bahasa tubuhnya; kadang antara apa yang diutarakan dengan ekspres
wajah dan tubuh berbeda.
3.
Memberikan
dukungan nonverbal dan semangat.
4.
Gunakan
kalimat yang memberi semangat untuk menunjukkan minat konselor sehingga
percakapan tetap berjalan, misalnya dengan kalimat sederhana.
5.
Berikan
banyak pujian; carilah prestasinya dan berikan apresiasi terhadap apa yang
telah dilakukannya, sehingga mereka memiliki perasaan positif tentang dirinya.
6.
Pujilah
usahanya bukan hanya prestasi; upaya yang dilakukannya dalam menyelesaikan
masalah kendati belum memperoleh hasil.
7.
Bantulah
anak untuk menentukan sasaran yang realistis; disini konselor dapat membantu
anak menyesuaikan antara harapan dan kemampuan yang dimiliki agar tidak
mengalami kegagalan kembali.
8.
Jangan
membandingkan usaha anak dengan anak lainnya, karena hal ini akan membuat anak
berkecil hati untuk melepaskan diri dari masalahnya.
9.
Pada
saat mengoreksi, kritiklah dengan tindakannya bukan pribadi anak; konselor
harus memperhatikan ungkapan – ungkapannya jangan sampai terkesan menghakimi
anak karena kesalahan yang dilakukan.
10.
Berilah
tanggung jawab yang nyata pada anak, misalnya dengan melakukan tugas – tugas di
rumah yang akan merangsang anak memiliki tanggungjawab yang lebih baik.
11.
Tunjukkan
pada anak bahwa anda mencintai dan memperhatikan dirinya sehingga ia semakin
bersemangat untuk merubah diri dan menerima saran konselor demi kebaikan anak
itu sendiri.
IX.
Kesimpulan
Masa remaja sebagai
periode perkembangan yang paling penting bagi individu pada kenyataannya
merupakan suatu periode yang sarat dengan perubahan dan rentan munculnya
masalah. Meskipun demikian adanya pemahaman yang baik serta penanganan yang
tepat terhadap remaja merupakan faktor penting bagi keberhasilan remaja di
kehidupan selanjutnya, mengingat masa ini merupakan masa yang paling menentukan.
Selain itu perlu adanya kerjasama dari remaja itu sendiri, orang tua, guru dan
pihak-pihak lain yang terkait agar perkembangan remaja di bidang pendidikan dan
bidang-bidang lainnya dapat dilalui secara terarah, sehat dan bahagia.
X.
DAFTAR
PUSTAKA
Bagian Pediatrik
Undip, _______. Depresi Pada Remaja.
Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson., 1996. Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi 15. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 1996.
Fuhrmann, Barbara S., Adolescence, Adolescents. Second
Edition. Glenview, Illinois: A
Division of
Scott, Foresman and Company., 1990.
Haksasi, Banun Sri., Konseling
Krisis. Cetakan Pertama. Semarang: Penerbit Amanah., 2010.
Hurlock, Elizabeth B., Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Rentang Kehidupan.
Edisi Kelima. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2002
I Gusti Ayu
Endah Ardjana. Depresi pada Remaja dalam
Tumbuh Kembang Remaja dan
Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto., 2004.
Nasution, Indri Kemala., 2007. Stres pada
Remaja. Tersedia pada :
Nurhadi, _______. Coping With Loss and Grieving.
Ola’s Site.,
2008. Depresi Pada Remaja. Tersedia
pada:
Prayitno, 2005, Kerangka Konseling Eklektik Konseling
Pancawaskita, Program
Pendidikan Profesi Konselor Jurusan BK FIP – UNP, Padang.
Rambe, Abdul
Mutholib., 2001. Depresi pada Anak.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas